Mari mulai dari sejumlah nama yang tumbuh menjadi idola di dunia K-Pop. Saya sebut beberapa nama: Yang Yoseob (HIGHLIGHT), Kim Kibum (SHINee), Sungyeol (INFINITE), Choi Minho (SHINee), Kim Minseok (EXO), Gikwang (HIGHLIGHT), Dongwoon (INFINITE).
Tentu akrab dengan nama-nama itu, bukan? Saat demam K-Pop melanda negeri ini lima tahun belakangan.
Mereka bukan sekadar artis yang berada di atas panggung atau memainkan peran di depan kamera, tetapi juga memiliki tanggung jawab menjaga kedaulatan negara dan bangsanya.
Salah satu kegiatan yang wajib mereka ikuti adalah bela negara di mana dalam waktu tertentu mereka dilatih selayaknya seorang bayangkara negara, baik fisik, semangat, maupun pengetahuan.
Dari situ kita membaca bahwa menjadi seorang milenial tidak sekadar identik dengan aktif main hape sepanjang hari atau hidup 24 jam dalam jagat internet. Main gim Mobile Legends, Clash Royal, Vainglory nyaris seharian; dipotong waktu sekolah, makan, salat. Tidur pun seadanya.
Bukan, Dik!
Milenial itu diidentikkan dengan semangat pembelajaran baru, pergeseran tata cara komunikasi, kekuatan global baru untuk berproduksi.
Sebagai sebuah gelombang, sebagai kekuatan baru, sang milenial bukanlah pribadi yang lemah, melainkan memiliki karakter dan pengetahuan di atas rata-rata untuk mengikuti irama zaman yang cepat. Yang tak berakar bakal hanyut dalam pusaran yang deras ini.
Oleh karena itu, saya membagi lima daulat yang melambari semangat sang milenial.
Daulat Seni Budaya
Bangsa yang besar memiliki akta sejarah budaya yang panjang. Lestarikan dengan inovasi, cintai dengan ilmu dan pengetahuan. Kita memiliki banyak sekali tradisi dan kesenian luhur.
Cara milenial memasuki dunia leluhur itu bukanlah dengan cara sekadar menguri-uri tentu saja. Kehadiran sang milenial diharapkan memberi sentuhan kekinian. Menjadikan atraksi seni budaya lama menjadi atraksi pariwisata, menjadikannya film.
Atau, bisa mengubahnya menjadi platform gim yang dimainkan secara menarik. Itulah model daulat seni budaya.
Daulat Bahasa
Oleh Pak Karno dan Pak Ki Hadjar Dewantara sudah mewanti-wanti sejak negeri ini berdiri bahwa warga yang cerdas itu, bahwa negara mencerdaskan kehidupan bangsa itu mestilah berdaulat dalam bahasa. Dari bahasa tumbuh budaya.
Bawalah bahasa Indonesia sebagai identitas nasional dan kuasailah satu atau lebih bahasa asing (Inggris, Arab, Jerman, Jepang, Korea, dsb.) agar tidak terkucilkan dalam pergaulan global. Sementara lestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari khasanah keragaman budaya.
Daulat bahasa bagi generasi milenial artinya lestarikan bahasa daerah, perkuat bahasa nasional, kuasai bahasa asing.
Daulat Iptek
Barangkali ini klise. Tapi, Covid-19 memberi tahu kita betapa pentingnya ilmu dasar. Virus Covid-19 masuk ranah ilmu dasar. Biologi. Terutama virologi. Bahkan, sekarang berkembang biologi molekular.
Agaknya, makin jarang generasi yang bercita-cita menjadi ilmuwan yang hidup dari lab ke lab, dari riset ke riset yang jauh dari ingar-bingar.
Daulat iptek salah satunya berupa munculnya gelombang milenial yang serius memperdalam ilmu dasar dan terus mengikuti pertumbuhan teknologi yang berubah cepat.
Ilmu dasar itu menjadi penting. Apalagi, ditambah ilmu komputer. Konkretnya, ilmu coding menjadi kecakapan dasar yang dulunya menjadi suatu keahlian yang wah.
Daulat Ekonomi
Milenial identik dengan ekonomi digital. Mereka tak lagi berharap pada ekonomi fosil atau kebun. Itu milik kakek/nenek atau orang tua mereka. Sepenuhnya dunia mereka adalah ekonomi digital.
Maka, literasi finansial yang kuat mestilah menjadi perhatian. Perkuat dasar-dasar finansial sejak dini untuk modal kemandirian ekonomi. Hanya dengan begitu apa yang disebut merdeka finansial.
Sekolah mestinya mengajarkan olah finansial yang berperspektif masa depan sebagai pelajaran penting yang tak boleh diabaikan.
Bukankah jika generasi milenial melek finansial, merdeka finansial, turut mengantarkan negeri berada dalam atmosfer yang dibayangkan Pak Karno sebagai berdikari. Berdiri di kaki sendiri dari segi ekonomi. (Baca juga: Pemuda harus mau dan mampu membangun desa)
Daulat Sosial
Kita menginsyafi bahwa kita lahir dan tumbuh di negeri cincin api. Negeri yang sejak dahulu kala dimusnahkan dan sekaligus disuburkan oleh bencana.
Kita dikelilingi gunung-gunung api yang umumnya aktif; dari Merapi, Lawu, Kelud, Semeru, Bromo, Lemongan, Arjuna, Ijen, Raung.
Sadar bahwa kita ada dalam dunia seperti ini, semangat solidaritas sosial menjadi teramat signifikan. Pemangku negeri bakalan sempoyongan dan ambruk jika daulat solidaritas sosial lenyap.
Solidaritas bukan untuk menantang alam, tetapi saling berjejaring dan bergotong royong hidup adaptif dalam kebencanaan. Solidaritas sosial mencegah kita dari kebencanaan dan sekaligus menjadikan kita bangsa yang kuat karena masyarakatnya adaptif. (Baca juga: Diana: Ajaran Ki Hajar Dewantara Justru Relevan di Era Digital)
Daulat Politik
Demokrasi adalah sukma politik kita. Kita bisa bersuara bebas, kita bisa dengan bebas tanpa paksaan memilih siapa saja yang kita anggap pantas mewakili kita di parlemen atau di balai kota adalah ritual politik.
Politik yang demokratis kita jaga agar jangan sampai seorang yang bermental jagal naik menjadi pemimpin kita, menjadi wakil kita di parlemen.
Untuk tahu soal ini diperlukan literasi politik, melek politik. Sejak dini. Sejak dalam organisasi sekolah, sejak dalam komunitas di desa. Latih itu. Jangan apatis. Berorganisasi adalah cikal dan ejawantah dari praktik kita berpolitik demokratis.
Dari pengalaman berorganisasi itu terbentuk karakter: (1) gak boleh otoriter, semua tentang hal bersama diputuskan secara bersama; (2) gak boleh curang dan korup, semua keuangan organisasi transparan dan diolah secara bertanggung jawab.
Milenial yang punya sangu politik demokratis yang baik menjadi garansi bahwa negeri ini masih berusia lama. Mereka adalah bhayangkara negeri masa depan. Apa pun profesinya, apa pun hobinya.
Daulat politik adalah kemampuan menjaga keberlangsungan negara, mempertahankan segigihnya asas warisan negara. (Baca juga: Mahasiswa Sebagai Agent of Change dan Social Control)
Tinggalkan Komentar