Mungkin saya seperti ditahbiskan untuk terjun di dunia politik. Saya kadang merenung demikian. Karena meski saya mencintai dunia buku, literasi, tapi toh tidak menghalangi untuk masuk ke dunia politik. Ini takdir.
Politik memang akrab di kehidupan saya sejak kecil. Ketika itu saya masih SD, tapi sudah digandeng ayah saya dalam berkampanye dari satu desa ke desa lain. (Baca juga: Pengalaman Jadi Caleg yang Putus Asa)
Ayah saya PNS, yang mana sudah menjadi kewajiban zaman dulu untuk mengkampanyekan satu partai orde baru. Saya ingat ikut naik panggung, ikut meneriakkan yel-yel. Entah mengapa bapak justru mengajak saya.
Ayah saya tidak hanya menjalani kewajiban, tapi memang punya naluri. Bahkan dalam setiap percaturan politik di desa, Ayah saya selalu terlibat, instingnya kuat. Saya merasakan itu. Semangatnya, gairahnya, menginpirasi saya. (Baca juga: Perlunya Nyantrik Politik Agar Matang)
Maka kegiatan seperti kampanye, berteriak dari satu panggung ke panggung lain, bukan hal aneh bagi saya. Ayah sudah mengajarkan secara tidak langsung sejak kecil. Bahkan terkadang saya diajak ikut pertemuan.
Ketika saya benar-benar masuk ke partai, maka saya seperti kembali ke masa lalu. Dan sudah menjadi impian saya bisa memimpin. Bahkan seandainya saya diamanati jadi pimpinan ranting pun, saya siap.
Partai adalah kendaraan yang penting. Ada ide yang tidak hanya kita teriakkan, tapi juga bisa kita tuangkan dalam kebijakan. Oleh sebab itu saya selalu antusias berpolitik. Ayah seperti tahu masa depan saya dan sudah memberikan bekal dan mental sejak kecil. (Baca juga: Begini Cara Memetakan Suara Saat Pemilu)
Baca juga: Sekilas tentang Sosok Diana Sasa
Tinggalkan Komentar