Saya tidak malu mengatakan bahwa ibu saya adalah asisten rumah tangga. Demi anak-anaknya, ibu rela merantau ke Jakarta menjadi pembantu, mengabdi pada majikan selama empat belas tahun.
Ibu saya memang hanya lulusan SMP. Tidak ada gambaran di kepalanya menjadi pegawai, atau melanjutkan studi lagi. Karena sudah kepepet dengan kebutuhan saya dan adik untuk sekolah.
Yang beliau lakukan hanya ikut kursus demi memperbaiki hidup, menjadi baby sitter agar sepanjang hari tidak di dapur. Paling tidak lebih baik.
Oleh sebab itu saya tahu susahnya jadi pembantu, karena saya melihat ibu saya yang demikian. Sepanjang hari mulai dari mencui, mengepel, memasak, tidak kenal lelah. Empat belas tahun dilalui. Beliau pahlawan bagi saya. (Baca juga: Pentignya Perempuan Masuk Parlemen)
Apalagi melihat masyarakat yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, itu jauh lebih berat lagi. Sudah lelah, harus menahan rindu kepada keluarga. Makanya saya jengkel sekali kalau melihat ada suami yang ditinggal di rumah, tahu-tahu justru menghamburkan uang.
Sehingga kalau ada agenda untuk pembinaan tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI), saya sangat antusias untuk terjun. Mengajarkan tentang organisasi, mengajarkan tentang pengelolaan uang dan lain sebagainya.
Salah satunya pelantikan pengurus DPC Pertakina Magetan yang berfungsi sebagai wadah, memperdayakan PMI purnatugas, sekaligus memberikan wawasan bagi teman-teman yang belum berangkat. (Baca juga: Darah NU Mengalir Di Tubuh Saya)
Melihat mereka, sama artinya melihat sosok ibu saya.
Tinggalkan Komentar