Mahasiswa sebagai agent of change dan social control itu bisa diamati secara mudah dari asal katanya. Mahasiswa secara kata saja mengandung kata maha; sesuatu yang lebih dari yang lain. Sebuah kelas terpilih.
Mahasiswa selalu ada di setiap perubahan politik yang mendasar. Karena itu, mereka disebut agent of change. Jiwa muda mereka akan menjadi pendorong kuat suatu misi perubahan.
Mahasiswa Sebagai Agent of Change dan Social Control, Sejak 1945 Sudah Terbukti
Republik ini sudah membuktikannya. Proklamasi kemerdekaan diwarnai aksi pemuda yang menculik para elit politik ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Sebenarnya misinya baik, yakni meminta pihak senior seperti Soekarno dan M.Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Tujuannya agar melepaskan diri dari semua rencana buatan Jepang.
Niat para pemuda itu antara lain supaya proklamasi itu hasil jerih payah pejuang Indonesia. Sehingga tak ada kesan bahwa kemerdekaan Indonesia itu pemberian Jepang. (Baca juga: Konfercab PMII, Diana: Integritas Itu Mahal, Maka Jagalah)
Karena sejak Bom Atom dijatuhkan di Heroshima dan Nagasaki, seolah Jepang hendak memberi kemerdekaan kepada negeri-negeri di Asia termasuk Indonesia. Padahal, perjuangan pemuda Indonesia itu sejak jauh hari sudah berdarah-darah sejak sebelum pendudukan Jepang.
Negeri ini Sudah Membuktikan Mahasiswa Sebagai Agent of Change
Gerakan pemuda juga menjadi motor penggerak gelombang revolusi 1965 pun digerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Kaum muda ini mendesak stabilisasi politik, ekonomi, dan pemulihan pascaperistiwa G 30 S/PKI. Inilah bukti kuat bahwa mahasiswa sebagai agent of change.
Lalu gelombang pemuda ini terulang lagi pada Reformasi 1998. Hampir semua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Jakarta dan kota-kota besar bergerak secara massif dan menduduki gedung DPR dan DPRD. (Baca juga: Mahasiswa Harus Berani Awali Perubahan Politik)
Mereka menyuarakan perbaikan negeri akibat terpuruknya ekonomi karena krisis moneter dan banyaknya kasus korupsi di negeri ini.
Dalam kelas sosial, mahasiswa adalah kelas atas, elite, terpelajar. Mereka memiliki privelese yang sangat besar untuk belajar semaksimal mungkin menjadi lokomotif. Lokomotif apa saja. Termasuk, menjadi pemimpin dalam politik.
Inilah Alasan Mengapa Mahasiswa Itu Punya Keistimewaan
Privelese berupa waktu belajar yang banyak dan lebih leluasa. Serta kemampuan berpikir yang luas dengan diskusi dan seminar. Itu goal-nya adalah memecahkan masalah besar dalam masyarakat.
Itulah hakikat mahasiswa sebagai agent of change, memecahkan problematika yang besar dan mendasar. Untuk itulah, mahasiswa membutuhkan struktur demokratisasi dalam proses belajar itu: kebebasan akademik, kebebasan mimbar. Tanpa kebebasan, niscaya bisa melakukan eksperimentasi ide, melakukan pengujian gagasan.
Proses eksperimen demokratisasi itu jika dikeluarkan dari kampus ke masyarakat itulah yang menyebabkan lahirnya hal-hal baru, tumbuhnya gagasan-gagasan baru. (Baca juga: Balap Liar Magetan, Diana: Pemkab Harus Mewadahi)
Jika dalam masyarakat berlaku sistem yang sudah usang, sasrjana-sarjana yang berkesadaran ini akan menggantinya dengan radikal. Jika sistem usang itu lunak terhadap sesuatu yang baru, lahir reformasi. Jika melawan terhadap yang baru, lahir revolusi. Jika berimbang, perang yang tak pernah usai.
Tantangan di Tengah Arus Industrialisasi & Digitalisasi
Bisakah mahasiwa sebagai agent of change itu diproduksi oleh sistem pendidikan yang mengarahkan seluruh mahasiswa sebagai pencari kerja, pemburu remah-remah kue dalam struktur industri multinasional?
Jawaban saya sangat berat. Tapi, bukan suatu yang tidak mungkin. Kantong-kantong diskusi dalam komunitas-komunitas harus diintesifkan kembali. Komunitas dan perkumpulan-perkumpulan itu seperti pos ronda yang membincangkan sesuatu yang tidak ada dalam kelas. itulah tantangannya saat ini. Mahasiswa sekarang ditantang untuk itu. (Baca juga | Diana: Ajaran Ki Hajar Dewantara Justru Relevan di Era Digital)
Atau, bahkan mengkritisi apa saja yang terbakukan dalam kelas. Sebagai manusia laboratorium (sosial, ekonomi, sains, filsafat). Sebagai manusia terpelajar di kampus pada akhirnya bertanya kembali tentang peran: saya sebagai pemecah masalah zaman atau menjadi beban masyarakat yang sesungguhnya menunggu kontribusi dari saya sebagai manusia terpelajar yang memiliki privelese belajar.
Sampai di situ, saya pun teringat kata-kata Romo Mangunwijaya, "Kita lebih bodoh dari generasi Soekarno-Hatta." Tugas kita terkini adalah mematahkan pandangan itu bahwa kita tidak mahasiswa seperti itu. Mahasiswa yang tidak punya kompas ide membayangkan Indonesia sampai 100 tahun ke depan. (Baca juga | Diana: Mahasiswa Harus Jadi Agen Perubahan)
Oleh Diana Amaliyah Verawatiningsih
- Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur 2019-2024
- Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur 2019-2024
- BEM Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Surabaya 2000-2002
- PMII Cab. Surabaya 2003-2005
Baca juga: Tentang Nama | Begini Awalnya Pakai Nama Sasa
atau
Sosok Diana Selama Jadi Mahasiswa
Tinggalkan Komentar