Salah satu guru politik saya yang paling berpengaruh selain Pak Hasto (Ir.Hasto Kristiyanto, MM, Sekjen PDI Perjuangan 2014-kini) dan ayah saya adalah Sarmiji.
Nama terakhir ini lengkapnya Sirmadji Tjondropragolo, mantan ketua DPD PDI Perjuangan Jatim. Wakil Ketua DPRD Jatim (2008-2014) dan anggota DPR RI (2014-2019). Saat ini menjabat sebagai anggota Majelis Pertimbangan Kebijakan MPR RI.
Kalau ayah saya itu kepala sekolah SD di Pakisbaru, Pacitan. Beliau juga aktivis NU, aktif di beberapa organisasi profesi.
Menurut saya, tingkatan politik Pak Sarmiji sudah masuk dalam kategori ma’rifat, sesuatu yang sudah tidak bisa hanya sebatas menggunakan akal semata.
Saya diberi kesempatan menjadi asistennya sewaktu masih menjabat sebagai parlemen. Saya menjadi Tenaga Ahli beliau saat di DPR RI. Dalam banyak momentum saya mengetahui jika beliau memiliki nama besar lebih karena kebijaksanaan yang dimilikinya. (Baca juga: Perlunya Nyantrik di Politik Agar Matang)
Tidak ada istilah dalam kamusnya seseorang atau kelompok di partai yang disingkirkan meski tidak berguna. Beliau selalu meyakini bahwa mereka adalah kepingan yang menyempurnakan perjuangan di partai.
Sesuatu yang menurut saya sulit dinalar. Bahkan jika ada sosok yang memusuhi pun, beliau tidak serta merta membenci kemudian menafikannya. Bagi banyak orang ini sulit sekali. Apalagi dalam dunia politik.
Bagi ia, setiap bagian dari kita akan memberikan manfaat pada waktu yang tepat. Ibarat seperti radio rusak, mungkin saat sekarang tidak memerlukan. Tapi suatu hari, mungkin di saat perang, radio itu tinggal diberi baterai dan menjadi barang paling berharga. (Baca juga: Kampanye (Justru) Setelah Pemilu)
Begitulah filosofinya kepada setiap orang di partai. Oleh sebab itu Pak Sarmiji begitu disegani. Padahal ini politik, ranah yang kekuasaan menjadi kepastian yang diharapkan.
Kekuasaan itu tidak bisa sebatas dengan penuh kesantunan, tapi beliau berbeda. Semua bisa dilakukan. Bahkan terbesit benci di hatinya, sepertinya tidak ada.
Jujur saja, bagi saya ini sangat sulit. Apalagi terkadang saya tidak membenci orang itu, tapi karena politik, dia bisa jadi membenci saya. Ini politik. Tapi saya tetap ingat bagaimana Pak Sarmiji berpolitik melalui jalan ma’rifat. (Baca juga: Pengalaman Nyaleg Yang Putus Asa)
Tinggalkan Komentar