Sejak kecil aku memang suka menulis. Semua berawal dari kiriman buku diari. Ibuku yang membelikan. So, sejak itu aku pun sering menulis di buku catatan harian. Lama-kelamaan makin banyak tulisanku.
Kelas 5 SD lomba mengarang, menulis karangan harus huruf tegak bersambung. Aku sedih karena tulisan tanganku gak bisa tegak. Sampai habis kertas banyak karena aku ulang-ulang. Aku menulis tentang kisah anak yang bercita-cita bertemu presiden.
Alhamdulillah, ternyata malah juara ketiga meskipun tulisan tanganku kurang sempurna. Malah tanda titik pada huruf i dan j harus dibantu guru di sekolah. Senang banget ya. Dapat piala kan bangga.
Sejak itu makin suka menulis. Saat SMA kelas 1 di Wonogiri (Jawa Tengah), aku ikut lomba menulis puisi. Aku mendaftar lomba tanpa sepengetahuan sekolah. Temanya lingkungan hidup. Selama lomba, peserta dikarantina dua jam untuk menuliskan puisinya.
Kalau tidak salah, judulnya Bumiku Menangis. Eh alhamdulillah, ternyata juara III. Padahal saat itu ada siswa bernama Anton Mahendra. Dia itu yang sering juara. Justru tahun itu dia tidak masuk tiga besar.
Bangga Banget, Nama Dipanggil Pas Upacara
Yang paling bangga ketika pas upacara bendera hari Senin, namaku diumumkan kepala sekolah. Wah senang sekali ya namaku disebut di hadapan semua civitas akademika di SMA. Pas itu sekolah bawa pialanya. Bangga rasanya.
Tak hanya itu, aku pun makin sering menulis. Tak hanya untuk lomba dan untuk media sekolah, tapi juga mengirimkan tulisan ke media massa nasional.
Tulisan pertama dimuat adalah puisi. Saat itu aku masih SMA. Tulisan puisi itu dimuat Majalah Bekal, grup Jawa Pos. Seingatku puisi tentang lampu merah. Heboh banget itu. Karena juaranya diumumkan lagi pas upacara bendera. Dapat uang Rp 75 ribu kalau tidak salah. Puas rasanya.
Setelah itu aku agak vakuum menulis. Selama kuliah aku lebih sibuk jadi pengurus BEM dan pengurus Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Surabaya. Jadi ya jarang menulis.
Namun dorongan itu tak bisa dibendung. Di akhir-akhir masa kuliah itu (lulus kuliah 2006), aku kembali mengasah bakat menulisku.
Saat itu aku kenal Fahryansah, seorang jurnalis radio di Surabaya. Dia biasa menulis naskah untuk berita di radio. Bentuk tulisannya bertutur khas untuk radio. Istilahnya: menulis untuk telinga.
Lalu di akhir masa kuliah itu aku gabung di milis para jurnalis. Di sana aku banyak dapat banyak input tentang tulisan yang bagus. Aku sering membaca jurnalis yang sudah matang seperti Jujur Raharjo, Iman D. Nugroho dan Revolusi Riza.
Selain itu, mereka juga memberi banyak referensi tulisan yang bagus. Saat itu pun aku banyak mengamati dan meniru. Masih sebatas mencontoh. Aku anggap latihan sih.
Setelah itu vacuum lagi. Lalu sekitar 2008 aku bertemu penulis yang sudah kenyang pengalaman. Namanya Muhiddin M. Dahlan, penulis esai dan aktivis literasi di Jogja. Dia yang paling kuat menghidupkan lagi semangat menulisku setelah beberapa tahun meredup.
Aku menyapa Gus Muh. Secara nyata Gus Muh inilah yang sering bilang, “Kamu bisa menulis.” Aku pun mulai belajar mulai teori hingga praktik menulis esai. Dari menulis lead, paragraf, isi, hingga penutup.
Umumnya tulisanku jenis esai. Dan tulisan esai yang pertama dimuat di koran nasional judulnya: Penjaga Ingatan Melawan Lupa (Jawa Pos, 24 Agustus 2008). Alhamdulillah, dapat honor gede. Kalau tidak salah honornya Rp 500 ribu.
Sejak itu aku makin sering menulis. Jika awalnya menulis sebagai luapan emosi menulis saja, kemudian makin ke sini sudah tumbuh kesadaran. Bahwa jika aku tidak menulis, aku bisa tenggelam oleh zaman. Dengan menulis, aku mewariskan yang baik anak cucu. (Baca juga: Begini Awalnya Pakanai Nama Pena Diana Sasa)
Terbitlah Buku Pertama Hasil Kolaborasi
Buku pertama yang aku tulis merupakan hasil kolaborasi dengan Gus Muh. Judulnya Para Penggila Buku: Seratus Catatan di Balik Buku (Indonesia Buku,Yogyakarta 2009).
Aku terima kasih kepada semua mentor-mentor menulisku. Di sini aku juga mengucapkan rasa cinta dan terima kasih kepada bapak saya. Beliau sering membantu saya menulis.
Beliau itu guru dan sering menulis. Sering menulis untuk ceramah dan menulis surat tulisan tangan untuk adik-adiknya dan kerabat yang lain. Aku sering baca surat-surat bapak itu. Dari situlah aku banyak mendapat inspirasi. (bersambung)
Baca juga: Tentang Nama Sasa, Mudah Diingat Dengan Nama Sapaan
Tinggalkan Komentar